Terkadang, kita perlu memberikan ruang agak leluasa untuk suatu himpitan beban. Kita perlu memberi kesempatan waktu untuk menata keadaan. Seperti orang yang tengah jatuh sakit, ia perlu meluangkan waktu beberapa lama untuk mengembalikan kesehatannya kembali. Atau, seperti orang yang membawa beban berat, ia juga perlu menarik nafas untuk bisa melanjutkan perjalanannya kembali dengan suasana yang lebih baik. Ya, perhentian, persinggahan, tafakkur, merenung, itu sebenarnya memang perlu.
Sikap memaksakan perubahan besar dalam waktu singkat juga bukan sikap yang bijaksana. Rasulullah W pernah menyebutkan sebuah permisalan, tentang sikap seorang musafir yang ingin sesegera mungkin mencapai suatu tujuan lalu terus menerus memacu hewan yang dikendarainya. Tapi akhirnya, orang tersebut justru tidak mampu sampai ke tujuan lantaran hewan kendaraannya justru terlalu lelah dan tidak mampu melanjutkan perjalanan berikutnya. Rasul SAW menyampaikan permisalan tersebut terkait dengan anjuran agar setiap orang bisa menyikapi panduan-panduan dalam beramal shalih, secara proposional.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW mengajak kita mengerti tentang hal ini dalam sabdanya,"Sesungguhnya agama ini kuat, maka arungilah agama ini dengan lemah lembut." (HR Ahmad, 2/199). Dalam hadits lainnya, Rasul menegaskan sikap manusia yang memang tak mampu melawan sikap kerasnya sendiri."Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang memberatkan agama ini kecuali ia pasti akan terkalahkan." (HR Bukhari). Menurut Imam Ibnu Hajar rahimullah saat menjelaskan hadits ini, "Tidaklah seseorang memperdalam amal-amal agama, kemudian dia meninggalkan kelemah lembutan kecuali ia akan melemah dan terputus dari amalnya, lalu ia terkalahkan." (Fathul Bary, 1/94)
Maka, perhentian yang memerlukan rentang waktu itu seringkali diperlukan. Syaratnya, perhentian ini harus disikapi sejak awal sebagai terminal semantara saja, bukan perhentian yang merupakan tujuan utama. Sejak dahulu, para salafushalih pun memerlukan fase-fase peristirahatan sementara seperti ini. Abu Darda salah seorang shahabat Rasulullah yang terkenal sebagai 'abid karena banyak melakukan ibadah itu bahkan mengatakan, "Sesungguhnya aku menggunakan sedikit yang 'bahtil' untuk menjadikanku lebih semangat dalam menegakkan kebenaran." Yang dimaksud 'bathil' dalam ucapan Abu Darda, adalah soal kelezatan dan syahwat yang sebenarnya menjadi tuntutan fitrah manusia. Bagi Abu Darda kelezatan dan syahwat itu memang suatu yang bathil mengingat banyak oarang yang terjerat di dalamnya, karena tak mampu mengontrol diri saat berinteraksi dengan dua hal tersebut.
Intinya, peristirahatan, perhentian, peregangan otot, waktu untuk berfikir, merenung, gejolak jiwa, adalah keharusan. Karena kita memang manusia, bukan batu karang yang terus berdiri dihempas ombak. Karena kita manusia, bukan batu gunung yang tetap bergemingoleh terpaan kuat angin topan.
Dikutip dari Tarbawi, Edisi 106 Th. 7/Rabi'ul Awwal 1426 H
Wassalam,
by : Sandra Jamiatu Rahmah